Orientasi Profesi
TUGAS ORIENTASI PROFESI
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Permasalahan belajar
sebenarnya memiliki kandungan substansi yang “misterius’. Berbagai macam teori
belajar telah ditawarkan para pakar pendidikan dengan belahar dapat ditempuh
secara efektif dan efisien, dengan implikasi waktu cepat dan hasilnya banyak.
Namun, sampai saat ini belum ada satupun teori yang dapat menawarkan strategi
belajar secara tuntas. Masih banyak persoalan-persoalan belajar yang belum
tersentuh oleh teori-teori tersebut.
Kompleksitas persoalan
yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan
strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar,
baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Diantara sekian banyak
faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses
tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada
guru. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua,
tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu,
masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami
perubahan-perubahan positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru.
Harapan ini menjadi
suatu yang niscaya terutama ketika dikaitkan dengan mutu pendidikan. Pembahasan
mutu pendidikan betapapun akan terfokuskan pada input- proses-output. Input
terkait dengan masyarakat sebagai “pemasok”sedangkan outuput terakait dengan
masyarakat sebagai pengguna. Adapun proses terkait dengan guru sebagai
pembimbing. Dataran proses inilah yang paling determinan dalam mewujudkan
sitasi pembelajaran di sekolah baik yang membelenggu, atau sebaliknya
membebaskan, membangkitkan dan menyadarkan.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah
itu profesionalisme guru?
2. Bagaimana
seorang guru bersifat profesional?
3. Bagaimana
cara pengajar sekarang ini merubah cara mengajar secara penindasan menjadi
demokratis?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Proses
Pembelajaran yang Membelenggu
Ada ungkapan yang menarik dari
Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan
yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu1.
Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai
pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan
sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya,s
ebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa
juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai
individu.
Dalam kaitannya dengan fungsi
negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari
model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita
adakan evaluasi, di kalanga kita sendiri memam\ng terdapat gejala-gejala
perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan
daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membaayakan masa depan
siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah.
Dalam suatu kelas tidak jarang guru
melempar suatu pertanyaan yang harus dijawab siswa. Ada seorang siswa yang
berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati
guru. Apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya
di sekitar tertawa sedang guru mengatakan, “tidak, itu salah. Saya heran
melihatmu”2. Kasus ini menurut Bobbi Deporter and Mike Hernacki, adalah awal
terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi tugas sangat
berat. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai menguragi resiko sedikit
demi sedikit3. Sebab dia merasa malu dan dipermalukan dihadapan banyak anak.
Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran komentar itu.
Komentar negatif selama ini
seringkali diterima anak bukan saja di
sekolah,melainka juga di rumah atau di lingkungan masyarakat. Pada 1982,
seorang pakar masalah kepercayaan diri, Jack canfield melaporkan bahwa hasil
penelitian dalam sehari setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif
atau kritik dan hanya 75 komentar positif yang bersifat mendukung.
Jadi,komentar negatif enam kali lebi banyak dari pada komentar positif4.
Suasana seperti ini berbahaya bagi masa depan anak, mereka bisa merasa tegang
dan terbebani ketika misalnay disuruh belajar. Dinding-dinding kelas dirasakan
sebagai dinding-dinding tempat penjara.
Model pembelajaran berikutnya yang dapat membelenggu dan menindas siswa
adalah sebagaimana yang Paulo Freire disebut sebagai pendidikan ”gaya bank”.
Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para
murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penbungnya..5 Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan
murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.6 Semakin banyak murid yang meyimpan tabungan, semakin kurang
mengembangkan kesadaran kritisnya.
Sesungguhnya, belajar itu merupakan
pekerjaan yang cukup berat, yang menuntut skap kritis sistemik (Sistemic
Critical Attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan
praktek langsung. Sikap kritis sama sekali tidak dapat dihasilkan melalui
pendidikan yang bergaya bank(banking action) ini.8 Dalam pendidikan model ini,
yang dibutuhkan buka pemahaman isi, tetapi sekedar hafal(memorization). Bukan
memahami teks, tetapi hanya menghafal dan jika siswa siswa melakukannya berarti
siswa telah memenuhi kewajibannya.9 Padahal hafalan hanya akan menumpuk
pengetahuan dalam arti pasif, karena tanpa upaya pengembangan sama sekali
sebagai yang menjadi karakternya selama ini.
Selanjutnya pembelajaran model bank
ini telah menempatkan guru dan siswa dalam posisi berhadap-hadapan. Guru
sebagai subyek dan siswa sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa
yang “ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan. Secara
ekstrim bahkan dapat dikatakan guru sebagai penindas sedang siswa sebagai
tertindas. Freire setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai
berikut:
−
guru mengajar, murid diajar
−
guru mengethui segala sesuatu, murid
tidak tahu apa-apa
−
guru berfikir, murid dipikirkan
−
guru bercerita, murid patuh mendengarkan
−
guru menentukan peraturan, murid diatur
−
guru memilih dan memaksakan pilihannya,
murid menyetujuinya
−
guru berbuat, murid membayangkan dirinya
berbuat melaui perbuatan gurunya.
−
guru memiliki bahan dan isi pelajaran,
murid (tanoa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
−
guru mencampur adukkan kewenangan ilmu
pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi
kebebasan murid
−
guru adalah subyek dalam proses belajar,
murid adalah obyek belaka10
Pengajaran model demikian ini
memposisiskan guru sebagai pihak yang ”menang”sedangkan siswa sebagai pihak
yang “kalah”, suatu dikootomi yang mestinya tidak layak terjadi mengingat
pengajaran bukan proses perbandingan sehingga ada yang menag dan ada yang
kalah. Dengan istilah lain pengajar ini terkadang disebut pengajaran model
komando. Seorang komandan dalam militer posisinya selalu diatas, memegang
perintah yang harus ditaati.
Pengajaran model gaya komando ini
memerankan guru, yang oleh S. Nasution disebut guru yang bertipe dominatif
sebagai lawan dari tipe integrative.11 Pengajaran tersebut mendapat kritik
keras karena mematikan semangat demokratisasi dan kreativitas siswa, tidak
menghargai siswa dan keagamaannya.12 Guru merasa memiliki wewenang apa saja
yang berkaitan dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh siswa
maupun pihak lain, praktis, pengajaran model tersebut hanya menjadikan guru
pandai sepihak sedangkan siswa tetap bodoh, pasif, kering ide atau gagasan, stagnan,
tertindas dan terbelenggu.
Upaya pembelajaran yang ternyata
berbalik membelenggu ini tidak lepas begiitu saja-karena akibat demikian tidak
pernah disadari guru dominatif tersebut-selagi belum ada gugatan secara
maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai
kebutuhan pendidikan secara mendesak.
B.
Pembelajaran
Demokratis
Sebagai upaya untuk keluar dari
pembelajaran yang membelenggu tersebut menuju pada pembelajaran yang
membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada dari guru untuk
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa guna mengekspresikan gagasan
dan pikirannya Freirw mengatakan,” pendekatan yang membebaskan merupakan proses
dimana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan
yang senyata secara kritis.”13 Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada
subjek yang membebaskan atau objek yan dibebaskan karena tidak ada dikotomi
antara subjek dan objek.14 Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus.
Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja
jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior,jadi
tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah seihingga guru tetap
lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi
pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan
agar siswa berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus.
Aliran ini sesungguhnya telah
berpandangan progresif. Peran siswa telah dimaksimalkan jauh melebihi
peran-peran tradisionalnya dalam himpitan pengajaran model gaya komando. Upaya
memaksimalkan peran siswa ini sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa
dari keterbelengguan akibat penindasan guru. Melalui pembebasan ini, diharapkan
siswa memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdyakan potersi yang dimiliki
untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri.
Oleh karena itu, mesti ada dialog.
“ciri aksi budaya yang meperjuangkan kebebasan adalah dialog, sedangkan yang
mengarah pada dominasi justru anti dialog dan mendomistifikasikan rakyat.”16
tangung jawab guru yang menempatkan diri teman dialog bagi siswa lebih besar
dari pada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa.17
Sebab guru sedang memupuk sikap keberanian, sikap kritis ,dan sikap toleran
terhadap pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi
saling tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah.
Tradisi dialogis ini sebagai salah
satu bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang
melibatkan para siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan
memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide,
kreativitas, dan karya siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
menjadi subjek dalam proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya dialog ini,
maka pemerintah mengamanatkan melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
yang ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga
kependidikan. Amanat itu terdapat pada pasal 40 ayat 2. Isi dari pasal tersebut
adalah: Pendidikan dan tenaga kependidikan berkewajiban:menciptakan suasana
pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis. Mempunyai
komitemen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan Memberikan
teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan
keprcayaan yang diberikan kepadanya.
Seiring dengan demokrasi politik.
Ada tuntutan demokrasi pendidikan dalam prakteknya berimplikasi pada demokrasi
pembelajaran dengan indikasi menciptakan suasana dialogis. Dengan demikian,
peranan guru dalam penyampaian pengetahuan menjadi sangat berkurang yang
digantikan oleh peranan siswa yang semakin menguat. Tuntutan dialog belakangan
ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan
demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi siswa dari posisi
objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan.
Demikian pula, pergantian istilah
anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar
bukan hanya persoalan semantic, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang
banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi
demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan siswa agar lebih produktif,progresif
dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta
didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada istilah
anak didik, terdidik maupun objek didik.
Oleh karena itu, belakangan ini
pengertian perencananaan untuk memberi peluang pada siswa-siswanya
mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi berbagai pengalaman baru
untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya, dan telah menjadi
kesepakatan-kesepakatan kelas bersama dengan gurunya.19 Guru tidak banyak
mencampuri mengatur dan menegur pekerjaan anak, akan tetapi membiarkan bekerja
menurut kemampuan dan cara masing-masing sikap in cocok dengan kuirkulum
‘student centered”.20
Selanjutnya perkembangan paling
menarik terjadi sejak 25 tahun terakhir bahwa guru-guru di berbagai sekolah di
Amerika melakukan transaksi kurikulum dengan para siswanya. Guru menawarkan
berbagai kompetendi pada siswanya, sedang siswa memilih serta menentukan
sendiri apa yang mereka pelajari dengan gurunya itu. Implikasi adalah terjadi
kajian dari sesama siswa untuk menentukan berbagai bahan materi pelajaran yang
akanmereka pelajari dalam masa tertentu. Inilah yang disebut sebagai curriculum
as transaction and curriculum as inquiry.21
Kasus ini benar-benar menggambarkan
pembelajaran demokratis lantaran melibatkan siswa dalam menentukan sendiri
kompetensi maupun bahan pelajaran sesuai dengan selera dan kebutuhan mereka
sendiri tanpa paksaan maupun intervensi guru.keterlibatan siswaseperti ini
makin mendesak untuk direalisasikan, sehingga dibutuhkan guru yang benar-benar
professional.
C.
Profesionalisme
Guru
Profesionalisme menjadi taruhan
ketika mengahadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis karena tuntutan
tersebut merefleksikan suatu kebutuhan yang semakin kompleks yang berasal dari
siswa; tidak sekedar kemampua guru mengauasi pelajaran semata tetapi juga
kemampua lainnya yang bersifat psikis, strategis dan produktif. Tuntutan
demikian ini hanya bisa dijawab oleh guru yang professional.
Oleh karena itu, Sudarwan Danim
menegasakan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak pernah surut,
karena dalam latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan,ia hadir sebagai subjek
paling diandalkan, yang sering kali disebu sebagai Oemar bakri.22
Istilah professional berasal dari
profession, yang mengandung arti sama dengan occupation atau pekerjaan yang
memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus..23
ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan professionalisme yaitu okupasi,
profesi dan amatif. Terkadang membedakan antar para professional, amatir dan
delitan.24 Maka para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang
telah memperoelh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan itu.
Kemudian bagaimanakah hubungan
profesional dengan kompetensi? M. Arifin menegaskan bahwa kompetensi itu
bercirikan tiga kemampua profesional yang kepribadian guru, penguasa ilmu dan
bahan pelajaran, dan ketrampilan mengajar yang disebut the teaching
triad.26 Ini berarti antara profesi dan
kompetensi memilki hubungan yang erat: profesi tanpa kompetensi akan kehilangan
makna, dankopetensi tanpa profesi akan kehilanga guna.
Untuk memahami profesi, kita harus
mengenali melaui Ciri-cirnya. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi adalah:
·
memiliki suatu keahlian khusus
·
merupakan suatu penggilan hidup
·
memiliki teori-teori yang baku secara
universal
·
mengabdikan diri untuk masyarakat dan
bukan untuk diri sendiri
·
dilengkapi dengan kecakapan diagnostik
dan kompetensi yang aplikatif
·
memiliki otonomi dalam melaksanakan
pekerjaannya
·
mempunyai kode etik
·
mempunyai klien yang jelas
·
mempunyai organisasi profesin yang kuat
·
mempunyai hubungan dengan profesi pada
bidang-bidang yang alin.28
Ciri-ciri tersebut masih general,
karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian tertentu. Bagi profesi guru
berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi dalam kaitannya dengan tugas-tugas
pendidikan dan pengajaran baik di dalam maupun di luar kelas.
Mengenai kompetensi, di Indonesia
telah ditetapkan sepuluh kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai
instructional leader, yaitu: (1) memiliki kepribadian ideal sebagai guru; (2)
penguasaan landasan pendidikan; (3)menguasai bahan pengajaran; (4)kemampuan
menyusun program pengajaran; (6) kemampuan menilai hasil dan proses belajar
mengajar; (7)kemampuan menyelenggarakan program bimbingan; (8) kemampuan
menyelenggarakan administrasi sekolah; (9) kemampuan bekerja sama dengan teman
sejawat dan masyarakat; dan (10) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana
untuk keperluan pengajaran.29
Dengan begitu, tugas guru menjadi
lebih luas lagi dari pada proses mentransmisikan pengetahuan, membangun afeksi,
dan mengembangkan fungis psikomotorik,karena di dalamnya terkandung finsi-funsi
produksi.30 Guru yang mogok mengajar apapun alasannya merupakan counter
productive proses pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan
universal itu.31 dari sisi etika keguruan juga tidak layak terjadi sebab figu
guru menjadi panutan di kalangan masyarakat setidaknya bagi para siswanya
sendiri. Disini predikat guru sebagai pendidikitu berkonotasi dengan
tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua
perilakunya.
Sebagai pendidik, guru harus
professional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sitem Pendiidkan
Nasional bab IX pasal 39 ayat 2:
“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabidaian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada pergurua tinggi”.
Ketentuan ini mencakup tipe macam
kegiatan yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan
pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya denganbebabn bagi dosen.
Tiga macam kegiatan tersebut secara hierarchy melambangkan tiga upaya
berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas
rutin, penelitian melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian
melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang
dicapai tersebut.
Dari ketiga kegiatan tersebut,
terutama penelitian menuntut sikap gurui dinamis sebagai seorang professional.
‘seorang profesional adalah seorang yang terus meneur berkembang atau
trainable.33 Untuk mewujudkan keadaan dinamis ini pendidikan guru harus mampu
membeklai kemampuan kreativitas, rasionalitas, ketrlatihan memecahkan masalah ,
dan kematangan emosionalnya.34 Semua bekal ini dimaksudkan mewujudkan guru yang
berkualitas sebagai tenaga profesional yang sukses dalam menjalankan tugasnya.
Keberhasilan guru dapat ditinjau
dari dua segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, guru berhasil bila
mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif baik fisik, mental
maupun sosial dalam proses pembelajaran, juga dari gairah dan semangat
mengajarnya serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru
berhasil bila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku pada
sebagian besar peserta didik ke arah yang lebih baik.35 Sebaliknya,dari sisi
siswa, belajar akan berhasil bila memenuhi dua persyaratan: (1) belajar
merupakan sebuah kebutuhan siswa, dan (2)ada kesiapan untuk belajar, yakni
kesiapan memperoleh pengalaman-pengalaman baru baik pengetahuan maupun
ketrampilan.
Hal ini merupakan gerakan dua arah,
yaitu gerakan profesional dari guru dan gerakan emosional dari siswa. Apabila
yang bergerak hanya satu pihak tentu tidak akan berhasil, yang dalam istilah
sehari-hari disebut bertepuk sebelah tangan. Sehebat-hebatnya potensi guru
selagi tidak direspons positif oleh siswa, pasti tidak berarti apa-apa. Jadi
gerakan dua arah dalam mensukseskan pembelajaran antara guru dan siswa itu
sebagai gerakan sinergis.
Bagi guru yang profesioanl, dia
harus memiliki kriteria-kriteria tertentu yang positif. Gilbert H. Hunt
menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria:
−
sifat positif dalam membimbing siswa
−
pengetahuan yang mamadai dalam mata
pelajaran yang dibina
−
mampu menyampaikan materi pelajaran
secara lengkap
−
mampu menguasai metodologi pembelajaran
−
mampu memberikan harapan riil terhadap
siswa
−
mampu merekasi kebutuhan siswa
−
mampu menguasi manajemen kelas37
Disamping itu ada satu hal yang
perlu mendapatkan perhatian khusus bagi guru yang profesional yaitu kondisi nyaman
lingkungan belajar yang baik secara fisik maupun psikis. Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2 bagian 2 di muka menyebut dengan istilah
menyenangkan. Demikia juga E. Mulyasa menegaskan, bahwa tugas guru yang paling
utama adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan,
agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga timbul
minat dan nafsunya untuk belajar38. Adapun Bobbi Deporter dan Mike Hernachi
menyarankan agar memasukkan musik dan estetika dalam pengalama belajar siswa39.
karena musik berhubungan dan mempengaruhi kondisi fisiologis siswa40 ayng
diiringi musik membuat pikiran selalu siap dan mampu berkonsentrasi.41 dalam
situasi otak kiri sedang bekerja, masuk akan membangkitkan reaksi otak kanan
yang intuitif dan kreatif sehingga masukannya dapat dipadukan dengan
keseluruhan proses.
Terkait dengan suasana yang nyaman
ini, perlu dipikirkan oleh guru yang profesional yaitu menciptakan situasi
pembelajaran yang bisa menumbuhkan kesan hiburan. Mungkin semua siswa menyukai
hiburan, tetapi mayoritas mereka jenuh dengan belajar. Bagi mereka belajar
adalah membosankan, menjenuhkan, dan di dalam kelas seperti di dalam penjara.
Dari evaluasi yang didasarkan pada
pengamatan ini, maka sangat dibutuhkan adanya proses pembelajaran yang
bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi “pekerjaan rumah”bagi para
guru khususnya guru yang profesional.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Selama ini model
pembelajaran dalam pendidikan masih seperti ungkapan paul Freire,
pendidikan”gaya bank” yang bersifat penindasan pada siswa. Keadaan ini harus
diubah menjadi pendidikan (Pembelajaran) yang demokratis yang membawa misi
pembebasan bagi mereka. Untuk mewujudkan model pendidikan yang emansipatoris
itu dibutuhkan guru yang profesional.
Profesional guru
tercermin dalam berbagai keahlian yang dibutuhkan pembelajaran baik terkaut
dengan bidang keilmuan yang diajarkan,”kepribadian”, metodologi, pembelajaran,
maupun psikologi belajar.
B. SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
Pernyataan
Ahli Sosiologi ini dikutip Sodiq. A Kuntoro, Dimensi Manusia dalam Pemikiran
Indonesia, Yogyakarta: CV Bur Cahaya, 1985)
Bobbi
Deporter dan Mieke Hernachi, Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan
Menyenangkan,(Bandung:Kaifa, 2002)
Paulo
Freire, Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan,
Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan ead, 2002)
S.
Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999),
Mska
Masstlon,Tracking from Command to Discovery, (California; Wadsworth Publishing
Company, 1972),
Donald
P. Kauchos\ck And Paul D. Eggen , Learning And Teaching Research Basid
Methods,(Baston: Allya And Baron, 1998),
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Ttp: Pustaka Widyatama, Tt),
Dede
Rosyada, Paradigma Pendidikan DemokratisSebuah Pelibatan Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Pendidika, (Jakarta: Prenada Media, 2004),
Jerry
Aldridge And Renetta Soldman, Current Issues And Trends In Education, (Boston,
USA: Allya And Baron, 2002),
Sudarwan Danim,Agenda Pemabruan Sistem
Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
Comments
Post a Comment